JATIMTIMES - Di tengah senyapnya malam Makkah, ketika langit menggantung rendah dan kota suci itu masih penuh kebencian terhadap ajaran baru, Rasulullah SAW berjalan menuju Ka’bah dengan langkah tenang. Tak ada penjaga, tak ada pengawal, seorang utusan Allah menembus kegelapan dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Namun di balik bayang-bayang gedung yang dilalui Rasulullah SAW, seorang pemuda Quraisy bernama Fudhalah bin Umair mengikuti dari kejauhan. Dalam dadanya, bergolak niat yang kelam: membunuh Nabi Muhammad SAW.
Baca Juga : Ramalan Zodiak Awal November 2025 Lengkap: Energi Baru, Peluang Baru, dan Hubungan yang Menghangat
Makkah saat itu bukan tempat aman bagi kaum Muslimin. Mereka hidup dalam tekanan sosial, ekonomi, dan politik. Banyak pengikut Rasulullah dari kalangan lemah dan budak yang disiksa, dihina, bahkan dibunuh hanya karena iman mereka kepada tauhid. Rasulullah SAW pun sering menjadi sasaran cercaan dan ancaman.
Sebagaimana diriwayatkan dalam As-Sirah An-Nabawiyyah karya Ibnu Hisham, Fudhalah telah lama menyimpan dendam dan kebencian. Malam itu, ia melihat Nabi sedang thawaf di sekitar Ka’bah. Saat suasana sepi, tangannya menggenggam belati, menanti momen untuk menyerang.
Namun sebelum langkahnya sempat mendekat, suara lembut Rasulullah memecah sunyi malam itu, “Apakah itu engkau, wahai Fudhalah?”
Fudhalah terkejut, namun menjawab singkat, “Benar.”
“Apa yang engkau pikirkan?” tanya beliau lagi.
“Saya sedang thawaf,” elaknya, mencoba menutupi niat jahat yang tersimpan di dada.
Rasulullah SAW lalu mendekat dan, sebagaimana dikisahkan pula oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, beliau meletakkan tangan di dada Fudhalah. Seketika, tubuh pemuda itu bergetar. Amarah dan kebencian yang selama ini ia simpan seolah mencair.
Baca Juga : Bolehkah Muslim Merayakan Halloween? Ini Penjelasan Ulama dan Dalil Lengkapnya
“Mintalah ampun kepada Allah, wahai anakku,” ujar Rasulullah SAW dengan suara yang menenangkan. Tak ada serangan, tak ada balasan, hanya kelembutan.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Dala’il An-Nubuwwah, sentuhan itu membuat Fudhalah seakan kehilangan seluruh kebencian yang semula membakar dadanya. Ia menunduk, tak berdaya, dan dalam hatinya tiba-tiba tumbuh rasa cinta yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Demi Allah,” kenangnya kemudian, “sejak beliau mengangkat tangannya dari dadaku, tidak ada seorang pun yang aku cintai melebihi dirinya.”
Malam di Makkah itu menjadi saksi, bahwa kelembutan seorang Nabi mampu memadamkan bara kebencian yang tak tertaklukkan oleh pedang.
