JATIMTIMES – Sabtu malam, 13 September 2025, Alun-Alun Kota Blitar menjelma menjadi panggung besar yang merayakan keroncong sebagai pusaka musik Nusantara. Ribuan warga tumpah ruah menyaksikan malam puncak Keroncong Svaranusa 2025, sebuah festival nasional yang tahun ini menempatkan Blitar sebagai tuan rumah.
Sejak sore, suasana kota proklamator sudah dipenuhi nuansa istimewa. Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, lebih dulu berkunjung ke Candi Penataran dan berziarah ke Makam Bung Karno. Kunjungan itu, menurutnya, menjadi bagian penting dari rangkaian acara yang bukan sekadar konser musik, melainkan penegasan pembangunan kebudayaan. Ia menekankan, Blitar memiliki posisi unik sebagai simpul sejarah bangsa sekaligus panggung ekspresi budaya yang hidup.
Baca Juga : Fadli Zon di Candi Penataran Blitar: Budaya Jadi Mesin Pembangunan
Malam itu, rangkaian acara dibuka dengan penampilan kelompok musik daerah dari Tulungagung dan Blitar. Tari Heritage in Motion dari Sanggar Rara Ireng mengawali malam dengan koreografi yang memadukan tradisi dan kreasi baru. Suasana semakin khidmat ketika Wali Kota Blitar, H. Syauqul Muhibbin atau akrab disapa Mas Ibin, naik ke panggung memberi sambutan.
Mas Ibin menegaskan, Kota Blitar berkomitmen membangun ekosistem seni yang sehat. Ia menyebut tema puncak Keroncong Svaranusa, Bhinneka Tunggal Irama, bukan hanya jargon, melainkan filosofi yang mencerminkan cara hidup masyarakat Indonesia. “Seperti orkes keroncong yang terdiri dari berbagai instrumen berbeda, bangsa ini juga disatukan oleh keberagaman yang padu dalam harmoni,” ujarnya.
Dalam pandangan wali kota, keberhasilan Kota Blitar menjadi tuan rumah Svaranusa adalah bukti bahwa kota ini mampu menghadirkan suasana aman, damai, dan toleran. Ia percaya kota yang berbudaya adalah kota yang maju. Karena itu, Pemerintah Kota Blitar mendorong agar seni dan budaya tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga penggerak ekonomi kreatif.
Pernyataan itu terasa mengakar. Blitar, kota yang menyimpan pusara Bung Karno, disebut Mas Ibin memiliki semangat sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari identitas kebangsaan. Semangat itulah yang, menurutnya, menjiwai festival keroncong malam itu.
Usai sambutan wali kota, Menteri Kebudayaan Fadli Zon memberikan apresiasi. Dalam pidatonya, ia mengingatkan pentingnya merawat keroncong sebagai bagian dari sejarah musik Indonesia. Ia menyinggung fakta bahwa lagu Indonesia Raya pertama kali direkam dalam format keroncong pada 1928. “Keroncong adalah musik perjuangan sekaligus musik kebangsaan,” katanya.
Fadli menambahkan, mandat konstitusi menegaskan bahwa negara wajib memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Karena itu, ia mendorong agar keroncong tidak berhenti sebagai musik nostalgia, melainkan menjadi bagian dari industri kreatif budaya yang memberi nilai ekonomi. “Kita punya kekayaan budaya luar biasa. Budaya adalah mesin masa depan kita,” tuturnya.
Salah satu momen paling berkesan malam itu adalah pemberian penghargaan kepada tiga maestro keroncong tanah air: Waldjinah, Sundari Soekotjo, dan Tuti Maryati. Ketiganya dianggap simbol perjalanan panjang keroncong Indonesia dari era klasik hingga modern. Kehadiran mereka disambut tepuk tangan panjang, meneguhkan bahwa keroncong masih berakar kuat di hati publik.

Setelah seremonial pemberian penghargaan, suasana alun-alun semakin meriah. Penampilan Silvy Kumalasari dari Makassar, Endah Laras, hingga Is Pusakata membuat panggung tak pernah sepi. Penonton menikmati suguhan tanpa harus membeli tiket karena acara digelar gratis untuk masyarakat. Pemerintah Kota Blitar ingin memastikan bahwa semua warga dapat merasakan pengalaman budaya bersama.
Baca Juga : Permainan Gasing dari Penghapus Viral di Medsos, Ini Bahaya yang Perlu Diwaspadai
Bagi Mas Ibin, festival ini bukan sekadar agenda seremonial. Ia menyampaikan bahwa ekosistem seni harus dibangun secara berkelanjutan, mulai dari pembinaan seniman lokal, penyediaan ruang kreatif, hingga promosi ke tingkat nasional. “Kota Blitar harus menjadi rumah yang ramah bagi para pelaku seni,” ucapnya.
Puncak Keroncong Svaranusa di Alun-Alun Blitar berakhir dalam suasana syahdu. Ribuan warga bertahan hingga larut, menikmati alunan cak, cuk, biola, dan vokal maestro keroncong.
Kota Blitar bukan sekadar tuan rumah acara musik, tetapi juga ruang lahirnya gagasan bahwa seni mampu menyatukan keberagaman dan membuka jalan bagi kemajuan