JATIMTIMES - Dalam rentang sejarah Mataram Islam pertengahan abad ke-17, pergulatan istana bukan sekadar intrik perebutan takhta. Ia adalah gelanggang tempat dendam sejarah, hasrat kuasa, kecemasan spiritual, dan rekayasa politik berpadu.
Sosok Pangeran Purbaya, pamanda raja, hadir dalam pusaran krisis pasca-Sultan Agung, ketika putra mahkota Mataram naik takhta menggantikan ayahandanya dan menanggalkan nama abdi untuk bergelar Sunan Amangkurat I.
Baca Juga : Polisi Selidiki Penemuan Mayat Misterius di Jabung
Di tengah sengkarut pemberontakan Pangeran Alit, konflik internal para bupati senior hingga tragedi pembantaian ribuan ulama, Pangeran Purbaya muncul bukan hanya sebagai saksi, melainkan figur penengah. Namanya nyaris terhapus dalam babad, tetapi catatan Belanda, terutama Van Goens, merekam ketegangan yang nyaris merenggut nyawanya. Dengan cara Jawa yang halus, Purbaya menahan arus kebencian istana agar tidak berubah menjadi kehancuran total.
Konteks Politik: Mataram Pasca-Sultan Agung
Sepeninggal Sultan Agung pada 1645, Mataram diwarisi oleh putranya, Raden Mas Sayidin. Sebagai raja muda bergelar Amangkurat I, ia memikul beban ganda: merawat kebesaran leluhur, sekaligus menundukkan potensi pembangkangan para saudara seayah dan bupati senior.
Van Goens mencatat, sejak masa mudanya, Amangkurat I menanggung kepahitan relasi dengan beberapa tokoh berpengaruh, terutama Tumenggung Wiraguna. Tumenggung ini, dalam ekspedisi ke Bali dan Blambangan, memperlihatkan wibawa nyaris melebihi raja muda. Dalam Gezantschapsreizen, Van Goens menulis, “…ia memperlihatkan wibawa yang terlalu besar,” menandakan potensi duri di dalam istana.
Sementara itu, di pinggir istana, saudaranya sendiri, Pangeran Alit, tumbuh sebagai simbol faksi penentang kebijakan Sunan. Babad tutur Jawa mencoba memutihkan citra sang raja: bahwa kudeta Pangeran Alit hanyalah buah hasutan orang-orang dekatnya. Namun, Van Goens justru merekamnya sebagai konsekuensi dendam lama.
Di balik gerbang istana Mataram abad ke-17, nama Pangeran Alit tercatat sebagai salah satu putra sulung Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, raja besar yang menaklukkan pesisir Jawa hingga Madura. Ia lahir dari rahim Ratu Kulon, Ratu Mas Tinumpak binti Adipati Cirebon I, Pangeran Sedang Kemuning, yang merupakan putra dari Pangeran Pasarean dan cucu dari Kanjeng Sunan Gunung Jati. Pangeran Alit, yang juga dikenal sebagai Raden Mas Syahwawrat, mewarisi darah luhur dari dua garis agung: Mataram Islam melalui ayahandanya, dan Kesultanan Cirebon melalui ibundanya. Garis keturunan ini bersambung hingga ke trah Wali Sanga, menjadikan tubuhnya sebagai wadah jejak spiritual dan politik yang kelak meneguhkan posisinya sebagai salah satu pewaris sah dinasti Mataram.
Berdasarkan silsilah yang disarikan dari babad dan tradisi lisan, Raden Mas Syahwawrat sempat diharapkan menjadi pewaris utama Mataram. Namun, keadaan berubah ketika ibundanya, Ratu Kulon, “dikebonke” atau dipinggirkan dari pusaran kekuasaan, lalu menjalani kehidupan di luar lingkungan istana. Sejak saat itu, kedudukan Pangeran Alit sebagai putra mahkota kian tergerus, dan akhirnya digantikan oleh adiknya, Raden Mas Sayidin, yang kemudian dinobatkan sebagai Susuhunan Amangkurat I.
Dalam narasi babad, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa gigih yang merangkai kekuatan spiritual dan politik. Ia menaklukkan wilayah, membangun keraton di Plered, mendirikan Astana Pajimatan Imogiri, dan merumuskan kalender Jawa Islam. Tapi di balik pusaka dan astana, anak-anaknya tumbuh di bawah bayang intrik. Pangeran Alit, yang tersingkir dari takhta, kelak tercatat menggugat sang kakak demi membela wibawa ibundanya.
Ekspedisi Blambangan dan Tumbalnya Para Penguasa
Sekitar 1647–1648, situasi memanas ketika Mataram melancarkan serangan ke Blambangan, gerbang terakhir pengaruh Hindu di ujung timur Jawa. Dalam pertempuran itu, dua nama besar hilang: Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya. Menurut Van Goens, Wiraguna justru dihabisi oleh Tumenggung Wirapatra, seorang dari keturunan rendah yang kemudian melonjak pangkatnya. Babad BP (X: 71) pun membenarkan ini: setelah Wiraguna tiada, Wirapatra segera naik menggantikannya.
Serangan Blambangan, di satu sisi, membuka peluang Sunan Amangkurat I menyingkirkan faksi lama. Di sisi lain, gerakan diam-diam Pangeran Alit menemukan momentumnya. Alit merasa dukungan menguat dari mereka yang tak puas pada penumpasan elite lama. Di titik ini, jaringan ulama menjadi simpul penghubung gerakan tandingan.
Kudeta Pangeran Alit: Politik Dendam yang Terlacak
Serangan Pangeran Alit ke Keraton Plered meletus ketika pembangunan keraton itu bahkan belum sepenuhnya rampung. Menurut catatan Van Goens, akar kudeta ini berkaitan erat dengan pembunuhan Tumenggung Wiraguna pada tahun 1647, sebuah eksekusi politik yang telah lama dipendam oleh Sunan Amangkurat I sebagai bagian dari strategi penyingkiran faksi lama. Kebencian Pangeran Alit terhadap saudaranya tumbuh seiring tragedi itu, terlebih karena pembasmian keluarga Wiraguna turut menyasar istri dan anak-anaknya. Dalam pusaran fitnah dan intrik, Pangeran Alit mulai menghimpun dukungan dari kalangan orang Islam, yakni kelompok yang pada masa itu justru paling tidak dicurigai oleh istana.
Van Goens mencatat peran Pangeran Purbaya sebagai penengah di ambang pertumpahan darah saudara. Purbaya memohon dengan sumpah agar Amangkurat I tidak menodai tangannya sendiri dengan darah saudaranya. Namun upaya damai gagal; Pangeran Alit menolak membongkar jaringan kaki tangannya. Terpojok, ia memimpin sekitar 50 hingga 60 pengikut sisa untuk menyerbu keraton di hari sidang agung. Pertempuran di alun-alun Plered pecah berdarah, beberapa pengiringnya tewas seketika, namun Alit tetap bertahan sampai akhirnya tertikam keris prajurit istana.
Kudeta Pangeran Alit berakhir tragis, tetapi meninggalkan jejak luka bagi keluarga besar Mataram. Pangeran Purbaya tercatat sebagai satu-satunya tokoh yang berusaha mencegah kudeta ini jatuh menjadi tragedi saudara membunuh saudara. Dari pusaran darah itu, Sunan Amangkurat I justru memperoleh celah untuk mengukuhkan balas dendamnya lebih luas, menumpas faksi-faksi yang dianggap mengancam kekuasaannya hingga ke pelosok tanah Jawa.
Tragedi Pembantaian Ulama
Setelah Pangeran Alit tewas, Sunan Amangkurat I, menurut catatan Van Goens, memeras otak mencari cara untuk membalas dendam terhadap para pemuka Islam tanpa menimbulkan kesan bahwa dirinya adalah otak di balik komplotan pembunuhan itu. Untuk melaksanakan rencana tersebut, ia memanggil empat orang kepercayaannya: Pangeran Arya, Tumenggung Nataairnawa atau Kiai Suta, Tumenggung Suranata, serta Ngabei Wirapatra, sosok yang sebelumnya dikenal sebagai algojo pembunuh Tumenggung Wiraguna.
Tugas mereka: merumuskan pembersihan ideologi. Para abdi dikirim menyusuri empat penjuru Mataram, menyelidiki nama, keluarga, dan alamat para kiai. Saat semua siap, dentum meriam Sapujagat dari istana menjadi isyarat. Dalam hitungan setengah jam, 5.000–6.000 jiwa dibasmi. Van Goens menulis, “Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi tembakan… 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.”
Secara simbolik, pembantaian ini menandai perubahan arah spiritual istana. Sunan Amangkurat I memutus simpul-simpul otonomi ulama yang selama ini menjadi penopang ideologi warisan Sultan Agung. Bagi rakyat, tindakan itu berarti pembungkaman terhadap teladan moral. Mataram pun berubah menjadi kerajaan yang lebih dikuasai oleh kecurigaan daripada oleh akhlak.
Pangeran Purbaya: Penengah di Tengah Badai
Baca Juga : Kapal Menuju Manado Terbakar, Ini Ciri-ciri Mesin Kapal Bermasalah dan Tips Selamat saat Laka Laut
Di tengah badai dendam dan pembantaian itu, Pangeran Purbaya, pamanda raja, diam-diam mengambil jarak. Menurut Van Goens, Purbaya mulai enggan hadir ke istana, “tanpa suatu pemberitahuan pun,” artinya setara dengan pembangkangan. Bagi Sunan, ini sinyal bahaya. Pamannya didukung banyak bupati senior, putra-putra Purbaya berjumlah puluhan, dan setia pada jaringan leluhur. Jika Purbaya tersulut, api perang saudara tak terhindarkan.
Di sinilah Ratu Ibu, ibunda Sunan Amangkurat I dan janda Sultan Agung, memainkan peran penting. Dalam Gezantschapsreizen, Van Goens menggambarkan sebuah adegan ketika Ratu Ibu memaksa diadakannya pertemuan di makam Sultan Agung di Imogiri. Melalui ritual ziarah, ia menyeret putranya untuk menahan amarah terhadap pamannya sendiri, Pangeran Purbaya.
Dalam pertemuan yang dramatis itu, di pelataran suci Imogiri, Purbaya bersujud dan mencium kaki kemenakannya. Demi menjaga wibawa kerajaan, Sunan Amangkurat I akhirnya memaafkan sang paman. Ratu Ibu berhasil menutup potensi pertumpahan darah yang nyaris membesar. Bagi istana, momen ini menegaskan bahwa narasi spiritual melalui ziarah, penghormatan terhadap makam leluhur, dan sumpah telah menjadi mekanisme rekonsiliasi politik. Tradisi Jawa meredam konflik dengan simbolisme yang tidak selalu tercatat dalam babad resmi.
Tokoh utama dalam peristiwa ini adalah Sunan Amangkurat I dan Pangeran Alit. Namun, peran Pangeran Purbaya sebagai penengah tidak dapat dikesampingkan, mengingat posisinya sebagai salah satu figur penting generasi pendiri Mataram Islam.
Dalam riwayat Jawa, nasab Pangeran Purbaya menegaskan rapuhnya garis kuasa di awal Mataram Islam. Lahir dengan nama kecil Jaka Umbaran, Purbaya adalah buah perkawinan politik antara Danang Sutawijaya — kelak Panembahan Senopati, pendiri Mataram — dengan Niken Purwasari, putri Ki Ageng Giring III. Pernikahan ini lahir dari kisah mistik wahyu gagak emprit, titisan takdir tentang siapa yang berhak mewarisi wahyu keraton.
Namun, catatan tutur Jawa menyingkap ironi: Sutawijaya nyaris menanggalkan janji. Usai menikahi Niken Purwasari, ia kembali ke Pajang meninggalkan istrinya. Yang tertinggal hanya sebilah keris tanpa warangka — menjadi bukti tunggal garis darah. Ketika dewasa, Jaka Umbaran mendatangi ayahnya di Kotagede. Menurut kisah, Panembahan Senopati menolak mengakui putranya kecuali keris itu diberi warangka bernama Kayu Purwasari. Syarat simbolik ini melahirkan tragedi. Ibunda Umbaran, Rara Lembayung, menunaikan makna warangka dengan menancapkan keris ke perutnya sendiri: ia menjadi sarung bagi pusaka yang melahirkan status.
Setelah kematian ibunya, Jaka Umbaran diterima di istana dan diakui dengan gelar Pangeran Purbaya. Sejarah mencatatnya sebagai putra sulung Senopati — tetapi takdir tak memberinya takhta. Ia tumbuh di kraton, mempelajari kanuragan, agama, hingga taktik perang, kerap mendampingi ayahnya, termasuk dalam penaklukan Bedhah Madiun.
Dari Purbaya menetes benih panjang: kelak generasi kelimanya naik takhta sebagai Susuhunan Pakubuwana I. Di akhir hidup, Purbaya kembali menunaikan wasiat: tulang belulang ibunya dipindah ke Wot Galeh, tanah mulia di Gunungkidul, menandai bahwa bagi bangsawan Mataram, garis darah, warangka pusaka, dan tanah leluhur tak terpisah dari kuasa.
Historiografi Kritis: Antara Van Goens dan Cerita Tutur
Perlu dicatat, Van Goens menulis dengan nada sinis. Bagi dia, Sunan adalah penguasa kejam, penuh tipu muslihat. Cerita tutur Jawa justru melunakkan: pemberontakan Alit disebut hanya karena “hasutan orang dekat,” pembunuhan Wiraguna diubah menjadi “wafat wajar.” Penyangkalan ini menunjukkan upaya self-justification agar wajah Sunan Amangkurat I tetap tampak agung di mata pewarisnya.
Uniknya, babad justru menghapus jejak pembangkangan Purbaya. Kisah Van Goens tentang penyerahan diri Purbaya di makam Sultan Agung sama sekali absen dalam kronik Jawa. Tindakan ini selaras dengan pola babad: loyalitas internal istana harus tampak utuh. Konflik disapu bersih, hanya jejak heroik yang diwariskan.
Makna Ideologi, Spiritualitas, dan Dendam
Pemberontakan Pangeran Alit bukan sekadar rebutan tahta. Ia memuat lapisan ideologi: pertarungan antara jaringan ulama dan istana yang ingin sentralistik. Pembantaian ulama membuktikan: begitu politik kekuasaan bersekutu dengan dendam, kekerasan massal menjadi alat penertiban legitimasi.
Pangeran Purbaya berdiri di titik penengah. Sebagai pamanda, ia mewakili sanepa: penopang keseimbangan kosmologis Mataram. Jika ia melawan, legitimasi Sunan runtuh. Jika ia patuh, krisis legitimasi teredam. Dalam kosmologi Jawa, Purbaya adalah raja tanpa mahkota, tetapi penyangga moral di bawah bayang-bayang makam Sultan Agung.
Tiga abad kemudian, pusaran krisis Pangeran Alit dan tragedi ulama masih menorehkan gema. Ia menegaskan bahwa politik istana Jawa adalah panggung di mana mitos, dendam, spiritualitas, dan penegakan kuasa berjalan bergandengan. Catatan Van Goens, meski sinis, memecah kabut loyalitas semu yang disulam babad.
Pangeran Purbaya, figur yang diabaikan kronik, justru menunjukkan wajah lain kerajaan: di balik kekerasan, selalu ada ruang penawar, ruang maaf, ruang kompromi. Tapi kompromi semacam itu kerap disangga oleh ritual ziarah, sumpah, dan ketakutan pada kutukan leluhur. Maka sejarah Mataram bukan sekadar kisah para raja, melainkan juga kisah para penengah yang menjaga istana tak terjerembap dalam kiamat keluarga.
