JATIMTIMES - Dalam rentang abad ke-16 hingga awal abad ke-17, pesisir utara Jawa bukan hanya saksi bagi kejayaan pelabuhan niaga, melainkan juga ruang riil perebutan kuasa para adipati pesisir yang mewarisi sisa-sisa pengaruh Demak.
Di antara nama-nama yang sering luput dari panggung narasi besar Mataram, Surabaya menempatkan diri sebagai kota-benteng, kerajaan pesisir yang membangun legitimasinya melalui warisan Sunan Ngampel Denta.
Baca Juga : Kenangan Indah Bersama Mas Imam Aziz
Dalam catatan De Graaf (2001: 74), para raja Surabaya diyakini menisbatkan garis nasab mereka ke Sunan Ngampel Denta — tokoh Wali Songo yang dikenal sebagai perintis penyebaran Islam di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Sumber lisan Jawa, Babad Tanah Jawi (1939–1941 IX: 63) dan Serat Kandha (hlm. 842) pun menegaskan keyakinan ini. Persambungan genealogi spiritual ini menjadi dasar ideologis bagi para raja Surabaya untuk mengklaim martabat kepemimpinan, bahkan ketika Demak — sebagai persekutuan Islam pertama di Jawa — runtuh pasca malapetaka Panarukan pada 1546.
Dari titik inilah Surabaya merangkak bangkit, menjelma sebagai kerajaan pesisir terkuat, menyaingi Mataram yang kala itu masih muda dan ekspansif di bawah Sultan Agung. Rivalitas dua kutub ini —Surabaya dan Mataram — membuka babak panjang perlawanan pesisir yang tidak hanya disulut ambisi politik, tetapi juga dibakar dendam sejarah dan kesetiaan pada warisan wali.
Silsilah Kabur: Pate Sudayo, Sunjaya, dan Pangeran Pekik
Dalam lorong-lorong silsilah yang terekam setengah samar, nama para raja Surabaya justru lebih sering bergetar dalam fragmen. Catatan Belanda di awal abad ke-17 kerap hanya menyebut gelar ‘Raja Surabaya’ atau ‘Adipati Surabaya’, tanpa nama lengkap. Sementara sumber-sumber Jawa memunculkan nama-nama kunci — Jaya Lengkara, Pangeran Sunjaya, Pate Sudayo, hingga Pangeran Pekik — yang membentuk rantai genealogis di antara kabut transisi dinasti.
Naskah Sadjarah Dalěm (Padmasoesastra 1902: gen. 217) menegaskan nama Raden Jaya Lengkara, yang diyakini sebagai Raja Surabaya terakhir sebelum tunduk di bawah Mataram. Dari Jaya Lengkara inilah lahir sosok yang dikenal sebagai Pangeran Pekik. Namun, penamaan ‘Pekik’ sendiri kemungkinan bukan nama asli, melainkan gelar kehormatan. Sementara satu generasi sebelumnya, De Graaf berupaya mengidentifikasi ‘Pate Sudayo’ — nama yang muncul dalam catatan F. Mendes Pinto (Peregrinaçao, 1645) — dengan Pangeran Sunjaya. Meski demikian, hubungan antara Sunjaya dan Pekik tidak dapat dipastikan sebagai ayah-anak langsung. Dalam catatan Sadjarah Regen Surabaja (Koleksi Brandes no. 474), terungkap pula bahwa garis raja-raja Surabaya tetap diikat sebagai keturunan Sunan Ngampel Denta. Para pangeran ini dimakamkan di kompleks pemakaman sang wali — satu jejak spiritual yang menegaskan bagaimana Surabaya menancapkan klaim kuasanya pada kesucian warisan wali.
Ziarah massal para keturunan Surabaya ke makam Ngampel Denta pada September 1691 bukan sekadar ritual, melainkan penegasan simbolik atas rantai spiritual yang menyuburkan legitimasi dinasti pesisir ini. Di tengah kebuntuan silsilah, nama ‘Pate Sudayo’ tetap berdiri sebagai petunjuk, sekaligus penanda era, saat Surabaya mengkonsolidasikan sisa-sisa loyalis Demak, memanggul dendam, dan menahan laju Mataram ke utara.
Politik Kawin-Mawin: Pos Terdepan dan Jaringan Pesisir
Kekuatan Surabaya tidak terletak pada gelar raja semata, melainkan pada simpul-simpul loyalitas di pos terdepan. Model aliansi dengan Kadipaten Kediri, Lamongan, dan Mojoagung memperlihatkan pola politik perkawinan yang strategis. Istri Jaya Lengkara disebut-sebut berasal dari Kediri dan Mojoagung, dua wilayah yang menjadi benteng pengendali rute pedalaman. Sementara istri Pangeran Pekik bahkan diidentifikasi berasal dari Lamongan dan Ratu Pandan Sari — adik Sultan Agung. Sebuah pernikahan silang yang, pada satu sisi, berupaya menaklukkan Surabaya melalui jalur darah, tetapi di sisi lain menandakan bahwa Surabaya tetap tegak sebagai pesaing yang enggan tunduk.
Model kawin-mawin ini mirip pola Demak di masa lampau. Jejaring pesisir dan pedalaman dipertegas oleh garis pernikahan, lalu diikat oleh sumpah kesetiaan. Maka, pertahanan Surabaya tidak sekadar soal meriam atau benteng batu, melainkan persekutuan manusia — satu skema yang diwariskan dari tradisi maritim Majapahit, Demak, hingga Tuban dan Surabaya.
Benteng dan Astana: Kota yang Menantang Mataram
Salah satu keunggulan Surabaya dibandingkan lawan-lawannya adalah rancangan kotanya yang monumental. Deskripsi Artus Gijsels (1871b: 534–535) menggambarkan Surabaya di awal abad ke-17 sebagai kota pesisir dengan lingkar benteng mencapai lima mil. Separuh kota dipagari tembok batu, separuhnya lagi diperkuat baluwarti — onggokan tanah yang meniru bentuk benteng China di Jepara. Di setiap jarak setengah tembakan meriam berdiri bastion persegi, masing-masing dilengkapi sepuluh hingga dua belas meriam. Dengan panjang tembok mencapai 30 kilometer lebih, kota ini nyaris mustahil ditembus dalam satu serangan singkat.
Air menjadi unsur pertahanan vital. Parit-parit dan pintu air menegaskan Surabaya sebagai kota sungai — Kali Mas — sekaligus gerbang niaga ke laut Jawa. Di sepanjang gerbang, penjaga memungut cukai sepuluh persen untuk setiap barang keluar-masuk. Surabaya berdiri sebagai pusat ekonomi, sekaligus pangkalan militer yang sanggup merespons tekanan Mataram.
Di jantung kota, Astana — istana kerajaan — menempel pada tepi sungai, dilindungi tembok batu dan deretan rumah bangsawan. Valentijn (Oud en Nieuw Oost-Indiën, 1724–1726) menuliskan bagaimana Astana ini memanjang hingga Rode Brug (Jembatan Merah) sampai baluwarti. Pohon-pohon linde, atau waringin, menaungi lapangan depan, meniru pola alun-alun di keraton Surakarta dan Yogyakarta. Di bawahnya, sang raja duduk di kursi batu, bangsawan beralas tikar di kaki pohon, sebuah tata ruang yang menegaskan hierarki.
Panggung publik Astana tidak sekadar tempat raja duduk. Di sinilah para penjahat diadili; di sinilah meriam-meriam Surabaya — hasil coran sendiri — dipajang, menandingi artileri Kompeni Belanda. Cornelis Speelman pada 1677, dan Valentijn pada 1706, sama-sama merekam sisa-sisa istana batu ini. Bahkan ketika Surabaya jatuh di bawah Susuhunan, bekas Astana masih jadi simbol luka kolektif: kompleks yang sempat dipugar sebagai tempat penahanan Sunan Mas akhirnya dirobohkan, meninggalkan reruntuhan yang menahan dendam.
Pengaruh Spiritual dan Dendam Sejarah
Kerajaan Surabaya tidak pernah berdiri sekadar sebagai domain politik. Di balik klaim keturunan Sunan Ampel, Surabaya menenun ideologi Islam pesisir yang resisten terhadap sentralisasi Mataram. Ziarah ke makam Sunan Ampel bukan hanya pengikat spiritual, tetapi juga penegas klaim moral bahwa Surabaya memanggul amanah para wali. Dalam konteks ini, dendam sejarah kepada Mataram — yang memaksakan penaklukan, membumihanguskan benteng, dan mengikat aliansi kawin-mawin paksa — justru menumbuhkan spirit resistensi yang terus mengendap di pesisir.
Riwayat kunjungan Steven van der Haghen pada 7 Februari 1607 — seperti dicatat Isaac Commelin (1646) — memperlihatkan suasana istana di masa raja tua yang buta, raja yang masih sanggup memerintah, meraba hadiah kain dari Belanda, dan membagi-bagikannya kepada para istri dan selir berhias emas. Dalam fragmen ini, tampak betapa Surabaya menautkan tradisi feodal Islam pesisir dengan diplomasi dagang yang menandingi VOC.
Runtuhnya Astana: Sisa Abu di Pesisir
Baca Juga : Dirut PT Pelni Sidak Kapal Berusia 25 Tahun di Surabaya: Hari Sial Tidak Ada di Kalender
Tahun 1719 menjadi puncak duka Surabaya. Perang besar meratakan kota, meninggalkan puing tembok Astana yang berubah semak belukar. Surat G. Cnoll dari Surabaya tertanggal 1 Agustus 1708 menandai babak runtuhnya kebesaran Astana yang pernah menampung ribuan orang. Kediaman itu, yang pernah disinggahi Sunan Amangkurat II pada 1679–1680, menjadi monumen rapuh — sepotong ingatan bahwa pernah berdiri kota benteng yang sanggup menahan gelombang Mataram.
Di luar tembok yang hancur, spirit Surabaya tetap hidup. Keturunan Ngampel Denta terus melangsungkan ziarah, meneguhkan klaim spiritual di atas puing politik. Jaringan pesisir — Gresik, Lamongan, Tuban — tetap menyimpan bara resistensi, menyiapkan panggung bagi perlawanan di masa-masa berikutnya. Ideologi pesisir, warisan wali, dan dendam sejarah menjadi racikan yang membentuk Surabaya sebagai rival abadi Mataram.
Hari ini, sisa-sisa Surabaya kuno tak lagi nampak di mata awam. Nama-nama seperti Rode Brug, Gang Keraton, Tambakbayan, atau bekas baluwarti hanya tersisa di peta toponimi kota. Namun di balik lalu lintas Jembatan Merah dan sungai Kali Mas, ingatan tentang kota benteng pesisir ini tetap berdenyut — sebagai episode penting sejarah Jawa, di mana satu dinasti yang menisbatkan diri sebagai pewaris Sunan Ampel berani berdiri menentang dominasi Mataram.
Warisan Surabaya bukan sekadar batu dan tembok. Ia adalah spirit maritim, aliansi pesisir, serta loyalitas pada garis wali — warisan yang membentuk Surabaya sebagai simpul perlawanan, jaringan dagang, sekaligus pintu masuk pertemuan budaya yang masih terasa hingga hari ini.
Pangeran Pekik dan Peranannya dalam Budaya Mataram: Dari Suluk hingga Wayang Krucil
Dalam riwayat Jawa abad ke-17, Pangeran Pekik muncul bukan semata sebagai sisa bangsawan Surabaya yang ditaklukkan, melainkan sebagai penenun halus di persimpangan sejarah pesisir dan pedalaman Jawa. Lahir dari darah Panembahan Jayalengkara—raja Surabaya terakhir keturunan Sunan Ampel—Pekik menapak di jalur yang ganjil: seorang pate pesisir yang justru melanjutkan hidupnya di jantung kekuasaan Mataram.
Sejak Surabaya runtuh pada 1625 di tangan Sultan Agung, Pangeran Pekik dibawa ke Kotagede bukan untuk disingkirkan, melainkan untuk diintegrasikan. Pernikahannya dengan Ratu Pembayun, putri sulung Sultan Agung, menjadikannya menantu raja sekaligus simbol penaklukan yang disublimasi. Di sinilah Kasurabayan, pemukiman khusus orang Surabaya di pusat kerajaan, menjadi benteng budaya pesisir di lautan agraris Jawa pedalaman. Sebuah enklave kultural di antara tembok dan baluwarti kekuasaan Mataram.
Dalam catatan Van Goens (1656) dan De Graaf (1956: 214–215), kediaman Pekik di Kasurabayan selalu disebut dalam peta kota istana. Ia bukan sekadar bangsawan yang diasingkan, tetapi duta kebudayaan Surabaya yang meneteskan nilai kosmopolit ke tanah pedalaman. Di mata Belanda, Kasurabayan tak ubahnya astana dalam astana, monumen simbolik bahwa Mataram pernah menaklukkan salah satu pusat niaga maritim terbesar di Jawa.
Berbeda dengan Sultan Agung yang garang menaklukkan pesisir, Pangeran Pekik lebih dikenal melalui suluk, syair, dan tafsir spiritual. C.E. Winter (1882) mencatat naskah Serat Jaya Lengkara Wulang yang ditulisnya bersama Kiai Panjang Jiwa, memperlihatkan kepiawaian Pekik mentransformasi ajaran mistik pesisir ke dalam bahasa sastra istana. Dalam catatan L. de Serrurier (1896: 57), pada tahun 1671, Pangeran Pekik memperkenalkan wayang krucil sebagai inovasi pertunjukan visual cerita Damarwulan. Wayang berukuran kecil ini memindahkan kisah heroik pesisir ke panggung Mataram, menyesuaikan kosmologi Islam pesisir dengan selera aristokrasi pedalaman.
Kehalusan Pangeran Pekik ini adalah wajah soft power kebudayaan. Jika Sultan Agung menaklukkan Giri Kedaton dengan prajurit, maka Pekik menaklukkannya dengan suluk. Ia tidak turun ke palagan memimpin tombak, tetapi membungkus resistensi melalui pendekatan simbolik. Dalam penaklukan Giri (1636), ia tampil sebagai mediator kultural yang menundukkan pusat tarekat pesisir dengan meredam dendam sejarah. Ia merangkul spiritualitas Giri ke dalam patronase keraton.
Jejak Pangeran Pekik juga terpatri dalam kisah lisan. Dalam tradisi lisan keraton, diceritakan bahwa ia kerap bertapa di makam Sultan Hadiwijaya di Butuh, Pajang. Dari sanalah ia menerima wangsit bahwa cucunya kelak menjadi raja Jawa, bertakhta di barat Pajang dengan gelar Amangkurat. Ramalan itu terbukti manakala Raden Mas Rahmat, cucu Pekik dari Ratu Mas Surabaya, naik takhta sebagai Amangkurat II setelah Mataram diguncang pemberontakan Trunajaya. Laporan VOC (1677) dan babad menegaskan legitimasinya: darah Sultan Agung, cucu Pekik, wahyu keprabon dari tanah sunyi.
Peran Pangeran Pekik menegaskan bagaimana penaklukan tidak selalu berujung pada penghapusan warisan budaya. Ia adalah simpul yang menjembatani kekuasaan militer Mataram dengan spiritualitas kosmopolitan pesisir Surabaya. Tanpa Pekik, Mataram barangkali hanya mengingat Surabaya sebagai kota benteng dan parit. Namun dengan Pekik, Surabaya menjelma denyut lembut di dalam istana: suluk, wayang, dan tafsir mistik yang memperhalus watak kekuasaan.
Historiografi Jawa modern memang kerap luput menempatkan Pekik sebagai tokoh kunci. Dalam kronik VOC dan babad, ia lebih sering muncul sebagai nama di pinggiran peristiwa. Namun di balik tembok baluwarti Surabaya, di balik Kasurabayan yang sunyi, Pangeran Pekik justru menganyam benang budaya yang menembus batas zaman. Dari suluk ke panggung wayang krucil, dari tafsir mistik ke wahyu raja, ia membuktikan: dalam sejarah Jawa, senyapnya pena dan syair kadang lebih tajam daripada gemuruh meriam.