Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Budaya dan Seni

Kisah Kura-Kura Dalam Sejarah Nusantara

Penulis : Dede Nana - Editor : Heryanto

24 - Jul - 2018, 15:15

Placeholder
Relief kura-kura di candi Jago di Tumpang (Ist)

MALANGTIMES - Kura-kura atau testudinidae nama ilmiah hewan yang telah ada sejak 208 juta tahun lalu. Ia merupakan hewan yang menghiasi perjalanan nusantara.

Terutama dari sisi mitologinya yang begitu kental dan terkenal di berbagai peninggalan kerajaan nusantara. 

Baca Juga : Empat Hari sebelum Meninggal, Glenn Fredly Posting Hal Romantis untuk Sang Istri

Sebut saja,  misalnya pada masa Kerajaan Majapahit maupun kutai atau di masa kerajaan Singosari. Dimana kura-kura atau dalam bahasa sansakerta disebut kurma atau Akupara dalam hubungannya dengan mitos kura-kura penyangga bumi.

Menghiasi berbagai cerita maupun candi-candi peninggalan kerajaan dalam bentuk relief,  komponen candi maupun arca. 

Dwi Cahyono sejarawan dan arkeolog Universitas Malang,  menyampaikan bahwa kura-kura memang merupakan binatang mitologi yang banyak hadir di berbagai candi di nusantara.

"Baik dalam wujud arca penuh,  tokoh peran dalam relief cerita, maupun menjadi bagian dari komponen pada suatu bangunan candi," tulisnya dalam sebuah artikel mengenai kura-kura. 

Keberadaan kura-kura yang telah masuk sebagai hewan dilindungi dengan status Apendix I CITES, karena keberadaannya semakin kritis oleh perburuan gelap manusia dalam konvensi perdagangan internasional flora dan fauna (Convention of International Trade of Endangered Species) atau CITES. Semakin menarik di lihat sisi mitologinya,  sejak zaman kerajaan di nusantara. 

MalangTIMES menyuguhkan mitologi kura-kura yang telah mengisi sejarah peradaban nusantara. 

Dalam mitologi Hindu tumbuh kepercayaan bahwa kura-kura merupakan jelmaan dewa Wisnu ke dunia.

Wisnu yang menjelma tersebut dalam upaya menyelamatkan jagad raya dari bencana dahsyat. Dimana saat itu para dewa dan raksaksa mengaduk-aduk lautan guna mendapatkan Tirtaamerta/Sanjiwani yang merupakan intisari kehidupan. Siapapun yang bisa meminum tirtaamerta, maka akan bisa hidup abadi. 

Perebutan tirtaamerta, mengakibatkan lautan yang diaduk, bergemuruh dan bergolak begitu dahsyatnya. Gempa bumi terjadi dan nyaris menghancurkan bumi beserta isinya.

Melihat kondisi yang berbahaya itu, maka Wisnu menjelma turun ke bumi dengan mengambil wujud sebagai kura-kura raksasa (Kurma). Dengan kekuatan yang penuh, Kurma  memikul bumi ketika mau hancur. 

Rupa kura-kura sebagai arca, relief dan komponen candi,  seperti disampaikan Dwi Cahyono, juga banyak menghiasi berbagai candi peninggalan kerajaan di nusantara.

Di situs-situs gunung lawu masa majapahit akhir (XV-XVI Masehi), kura-kura berbentuk arca penuh banyak ditemukan. Khususnya di candi sukuh dan cetho. 

Di halaman utama kompleks Candi Sukuh, didapati sejumlah arca kura-kura dalam ukuran besar dari batu andesit utuh (monolith) di depan candi induk.

Baca Juga : Atlesta Telurkan Album Instrumental Hasil Pengasingan Diri di Tengah Pandemi Corona

Sedangkan di candi cetho, patung kura-kura dalam jumlah banyak dengan beragam ukuran bisa ditemui . Di anak tangga candi pun kura-kura menghiasinya sampai menuju teras di candi cetho lainnya.  

Selain di masa majapahit, di kerajaan kutai pasca raja Mulawarman, arca kura-kura berbahan emas 23 karat pernah ditemukan. Walaupun ukurannya hanya segenggam tangan.

Konon,  warga setempat mempercayai bahwa arca kura-kura emas yang kini disimpan di Museum Mulawarman (Museum Kutai) merupakan persembahan seorang pangeran dari Kerajaan China untuk Putri Raja Kutai, yakni Aji Bidara Putih. 

"Di Bali arca kura-kura terdapat pada tengah kolam suci suatu pura. Dijadikan komponen bawah untuk menancapkan Lingga. Di sini kura-kura diposisikan sebagai semacam ‘Yoni’, padamana Lingga ditancapkan atau ditegakberdirikan di atasnya," tulis Dwi. 

Peninggalan kerajaan singosari yaitu candi jajaghu atau dikenal candi jago di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, juga ditemukan kura-kura. Kura-kura di candi jago terpahat di teras I. Di sini,  kura-kura berperan sebagai tokoh  yang berperilaku seperti manusia dalam cerita binatang (fabel) purba Tantrikamandaka.

Dalam fabel yang terpahat di candi jago, menceritakan sepasang kura-kura yang ditolong untuk dipindahkan dari suatu telaga ke telaga Manasara – yang berair jernih, kaya bahan makan dan tak kering sepanjang musim – oleh seekor bangau dengan cara diterbangkan. Caranya, kedua kura-kura diminta untuk menggigit masing-masing ujung sebuah tongkat. Bagian tengah tongkat digapit dengan paruh bangau.

Sang bangau sebelum terbang berpesan kepada dua kura-kura tersebut. "Pantang bagi kalian berkata satu patah kata pun saat terbang nanti,". Namun, ketika dalam perjalanan terdapat sepasang serigala jantan-betina ‘Cikrangga dan Cikranggi’ melihat peristiwa tersebut. Karena sang bangau terbang tinggi,  dua serigala tersebut menyangka yang diterbangkan adalah  sarang serangga yang berupa kotoran sapi kering atau kutis.  

Sontak saja dua kura-kura yang disebut kutis marah dan secara bersamaan hendak mengumpat serigala. Begitu mulut dibuka untuk memulai umpatan, maka gigitannya pada tongkat lepas. Jatuhlah keduanya, lantas dijadikan santapan lezat sepasang serigala.

Fabel kura-kura di atas juga bisa ditemui di patirthan (kolam pemandian)  dalam kompleks Candi Penataran dan teras II Candi Mirigambar dari Masa Majapahit. 

Kura-kura dalam kisah samudramantana di berbagai candi masa majapahit,  seperti di situs Sirah Kencong di Kabupaten Blitar, yang kini menjadi koleksi Museum Nasional dari Masa Majapahit. Atau candi induk Situs Penampihan di Tulungagung. Memperlihatkan bagaimana mitologi kura-kura begitu kuat dalam perjalanan sejarah nusantara. Di candi-candi tersebut,  kura-kura divisualisasikan lapisan bawah dibuat membulat, sebagai gambaran tubuh kura-kura dan dilengkapi dengan kepala kura-kura (Akupa) di sisi depan. Lapisan diatasnya dibuat dalam bentuk dua naga saling melilitkan tubuh, lengkap dengan pahatan dua kepala naga – sebagai gambaran bagi Naga Wasuki dan Taksaka/Ananta- yang meliliti Gunung Mandara yang berupa umpak-umpak tiang,  penyangga atap. Visualisasi tersebut mengingatkan kita pada mitologi dewa Wisnu yang menjelma menjadi kura-kura untuk menyelamatkan dunia. 

Sumber : Dari berbagai sumber


Topik

Hiburan, Budaya dan Seni Sejarah-Nusantara Relief-kura-kura candi-Jago



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Dede Nana

Editor

Heryanto