MALANGTIMES - Pusaran konflik berkepanjangan antara warga Dampit dan PT. Margosuko dalam persoalan lahan perkebunan, ternyata ditahun 2014 pernah jadi bahan penelitian karya tulis ilmiah dengan judul "Sengketa Lahan antara PT. Margosuko dan Masyarakat Kecamatan Dampit Tahun 2007-2013 dan Nilai Pendidikannya."
Penulis karya ilmiah tersebut bernama Mita Diana Sasanti, alumni Mahasiswi Jurusan Sejarah, Prodi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.
Baca Juga : Balada Susilo: Hidup di Gigir Kemiskinan Tanpa Jaring Sosial Pemerintah
Melalui metode penelitian historis (sejarah), Mita mendapatkan latar belakang terjadinya sengketa lahan di satu sisi dan penjarahan di sisi lain.
Dari abstraksi skripsi, Mita menuliskan awal sejarah kepemilikan lahan perkebunan Margosuko dulunya adalah milik masyarakat Kecamatan Dampit yang dibeli secara bertahap oleh Abdoel Karim Kertosastro alias Kerto Doel, seorang juru tulis pada perusahaan swasta milik Belanda.
Kerto Doel berhenti dari pekerjaannya dan beralih menjadi pengusaha kain di Pasar Dampit. Selama berjualan kain di Pasar Dampit hasil dari berjualan dan upah ketika menjadi juru tulis dibelikan tanah oleh Kerto Doel.
Tanah itu sebagian dibeli dari saudaranya dan sebagian dibeli dari masyarakat. Sedikit demi sedikit akhirnya Kerto Doel mampu membeli tanah dengan jumlah yang sangat luas sehingga pada tahun 1923 terbentuklah perkebunan PT. Margosuko, yang menaungi banyak perkebunan-perkebunan lain di Jawa Timur.
Setelah perkebunan berkembang dengan pesat, ada peraturan pembatasan kepemilikan tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.
Dengan adanya peraturan tersebut luas perkebunan PT. Margosuko yang pada waktu itu mencapai 332 Ha dibagi menjadi 233 Ha sebagai tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU), dan 99 Ha sebagai hak milik.
Kemudian pada tahun 2007 ketika kepemimpinan PT. Margosuko berada di generasi ketiga, terbit Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli antara masyarakat dengan PT. Margosuko.
Tanah yang diperjualbelikan tersebut adalah tanah pemerintah yang berstatus HGU dan warga juga menemukan berbagai penyimpangan yang dilakukan perusahaan. Pada titik inilah persoalan sengketa mulai mencuat dan menimbulkan konflik horizontal antara perusahaan dan warga.
Baca Juga : Musibah Angin Kencang Rusak Ratusan Rumah di Dua Kecamatan
Mita dalam karya tulis ilmiahnya juga memberikan beberapa saran kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Sayangnya saran tersebut terabaikan dan membuat permasalahan terus berlanjut sampai kini.
Beberapa saran tersebut adalah sebagai berikut : (1) Pemerintah Kabupaten Malang dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat baik dengan sesama masyarakat, pengusaha, maupun dengan pemerintah secara adil sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan dan tidak tebang pilih, serta tanggap dalam setiap permasalah yang memicu timbulnya konflik;
(2) Masyarakat Kecamatan Dampit agar lebih kritis dan selektif dalam menerima berita-berita yang datang dari luar dan mencari tahu kebenarannya, sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh berita yang dihembuskan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, yang pada akhirnya bisa merugikan dan memecah belah masyarakat;
(3) PT. Margosuko agar mampu menjaga eksistensi perusahaan dan tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat;
(4) menggali lebih dalam lagi akar dari konflik tersebut, membahas mengenai hasil laporan yang dilakukan oleh kedua belah pihak terhadap Polres Malang, serta membahas masalah sengketa lahan ini sampai pada tahap keputusan hukum terakhir (in kracht).
Sumber : Skripsi Mita Diana Sasanti, alumni Mahasiswi Jurusan Sejarah, Prodi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, 2014.