Tradisi Muludan di Jawa menjadi Ruang Syukur, Kebersamaan, dan Identitas Budaya

Reporter

Riski Wijaya

Editor

A Yahya

06 - Sep - 2025, 04:25

Peringatan Muludan yang digelar di Kampung Budaya Polowijen.(Foto: Istimewa).

JATIMTIMES - Perayaan bulan Mulud atau Maulid Nabi Muhammad SAW di Jawa bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan ruang sosial dan kultural di mana masyarakat mengekspresikan syukur, doa, dan kebersamaan. Di banyak kampung dan desa, tradisi Muludan menjadi sarana mempertemukan agama dengan budaya, menghadirkan simbol-simbol yang sarat makna sekaligus memperkuat ikatan sosial.

Di Malang Raya, tiga kampung tematik menjadi contoh nyata bagaimana tradisi Muludan masih lestari dengan kekhasan masing-masing. Ketiga kampung tersebut yakni Kampung Budaya Polowijen, Kampung Grabah Penanggungan, dan Kampung Gribig Religi.

Baca Juga : Komitmen Pulihkan Cagar Budaya, Pemkot Surabaya Ajak Sinergi Tim Ahli

Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi mengatakan bahwa perayaan Muludan juga dimaknai dalam Harmoni Simbol dan Filosofi. Di Kampung Budaya Polowijen, selamatan Muludan digelar dengan penuh kelengkapan tradisi.

Sajian yang dihadirkan meliputi buang ajang (makanan di piring gerabah atau layah), bubur sumsum, tumpeng buceng dari ketan dan kelapa, tumpeng buah, hingga sego gurih iwak ingkung.

Setiap hidangan memiliki makna filosofis yang mendalam. Ajang layah menegaskan kesederhanaan dan akar kehidupan manusia yang kembali ke tanah. Bubur sumsum melambangkan kesucian hati dan manisnya doa. Tumpeng buceng menghadirkan simbol kerukunan dan kelekatan sosial, sedangkan tumpeng buah menegaskan keberkahan alam. 

Puncaknya adalah sego gurih dengan ingkung ayam, lambang kepasrahan total kepada Tuhan. Di Polowijen, semua sajian ini bukan sekadar hidangan, melainkan bahasa simbolik yang merekatkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta sekaligus mempererat solidaritas sosial antarwarga.

Menurut budayawan yang akrab disapa Ki Demang itu, tradisi Muludan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan ruang edukasi budaya. Dimana melalui ritual itu, turut mengedukasi soal rasa syukur kebersamaan dan kepasrahan. 

“Lewat tradisi Muludan ini kita belajar makna syukur, kebersamaan, dan kepasrahan. Sajian seperti ajang layah, bubur sumsum, hingga tumpeng buah adalah simbol yang harus dipahami, bukan sekadar dimakan. Dengan begitu generasi muda bisa mengerti bahwa budaya Jawa itu kaya filosofi, tidak lekang dimakan zaman," ujar Ki Demang. 

Berbeda dengan Polowijen, Kampung Grabah Penanggungan menonjolkan tradisi buang ajang dengan cara unik. Warga mengisi piring gerabah (ajang layah) dengan makanan, lalu dikumpulkan di halaman mushola atau balai kampung. Setelah doa bersama, makanan disantap beramai-ramai, dan piring-piring gerabah tersebut kemudian dipecah serentak.

Ritual pecah ajang ini mengandung simbol mendalam. Yakni melepaskan kesialan, menolak bala, dan membuka jalan baru. Pecahnya wadah dianggap sebagai pelepasan hal-hal buruk agar kehidupan ke depan lebih lapang. Tradisi ini juga memperkuat identitas kampung grabah yang sejak lama dikenal sebagai sentra kerajinan gerabah, sehingga antara budaya lokal dan ritual keagamaan berpadu secara harmonis.

Ketua Kampung Grabah Penanggungan, Hariyono menegaskan makna simbolis dari tradisi pecah ajang layah. Menurutnya, ajang layah dari gerabah yang diisi makanan lalu dipecah bersama-sama itu simbol membuang bala dan membuka jalan hidup baru.

Baca Juga : Rezeki Lancar! Inilah 4 Warna Cat Rumah yang Paling Disarankan Fengsui

"Pecahnya wadah bukan berarti pecah kebersamaan, justru sebaliknya, karena setelah doa dan makan bersama, warga semakin rukun. Ini cara kami menjaga identitas kampung sekaligus melestarikan warisan nenek moyang," tuturnya.

Sedangkan di Kampung Gribig Religi, tradisi Muludan erat kaitannya dengan ziarah. Setelah doa bersama di makam keramat atau mushola, masyarakat membagikan bubur sumsum dan tumpeng sego gurih kepada para peziarah.

Sajian ini bukan hanya makanan, melainkan wujud jamuan spiritual: bubur sumsum sebagai lambang kesucian, sementara tumpeng nasi gurih menandai doa syukur dan keselamatan.Pembagian makanan kepada peziarah mengandung filosofi berkah yang dibagi tidak akan berkurang, justru bertambah.

Tradisi ini meneguhkan semangat religius sekaligus mempererat jaringan sosial antarpeziarah yang datang dari berbagai tempat Devi Nurhadyanto, Ketua Pokdarwis Kampung Gribig Religi, menekankan sisi religius dan solidaritas sosial dalam tradisi bubur sumsum dan tumpeng sego gurih.

"Setiap Muludan, kami membuat bubur sumsum dan tumpeng nasi gurih untuk dibagikan kepada peziarah. Ini bukan hanya sedekah makanan, tetapi sedekah rasa dan doa. Tradisi ini mengajarkan bahwa berkah itu semakin besar ketika dibagi, dan peziarah pulang tidak hanya membawa kenyang, tapi juga membawa berkah doa," terangnya.

Dari tiga kampung ini terlihat bahwa tradisi Muludan tidak seragam, melainkan beradaptasi dengan identitas lokal. Namun, benang merahnya tetap sama: ungkapan syukur, doa keselamatan, solidaritas sosial, dan pelestarian identitas budaya.