Masyarakat Dusun Mondoluko Banyuwangi Setia Merawat Tradisi Seni Pencak Sumping  

Reporter

Nurhadi Joyo

Editor

Yunan Helmy

30 - Jun - 2023, 02:08

Penampilan pesilat remaja putri memainkan seni pencak sumping di Dusun Mondoluko, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.(Isitimewa)

JATIMTIMES - Banyuwangi memiliki berbagai ritual adat tradisi seni dan budaya. Masyarakat di sekitar Kawasan Gunung Ijen, misalnya, masih setia dan menjaga, memelihara dan melestarikan tradisi seni bela diri “pencak Sumping” yang  tumbuh dan berkembang di kabupaten yang berada di ujung timur Pulau Jawa ini.

Setiap Hari Raya Iduladha, atraksi seni pencak Sumping -tradisi yang dilestarikan lintas generasi masyarakat Dusun Mondoluko, Desa Tamansuruh, kecamatan Glagah, Banyuwangi- menjadi destinasi wisata yang rutin digelar setiap tahun, seperti yang ditampilkan pada Kamis (29/06/2023).

Baca Juga : Pemkab Malang Salurkan 10 Sapi dan 40 Kambing di Momentum Idul Adha 1444 Hijriah

Atraksi pencak Sumping digelar dengan iringan musik tradisional dengan irama yang rancak. Penampilan pencak Sumping diikuti oleh para pendekar silat, mulai anak-anak, remaja, dewasa hingga  lanjut usia. Mereka menampilkan jurus-jurus pencak silat  dengan tangan kosong maupun dengan senjata secara terampil dan lincah.

Tradisi pencak Sumping tidak terlepas dari cerita asal muasal Dusun Mondoluko. Zaman penjajahan Belanda, Buyut Ido terluka (luko) sampai terkoyak (modol-modol), hingga akhirnya mendasari penamaan dari Dusun Mondoluko.

Warga Dusun Mondoluko, mulai anak-anak, remaja hingga lanjut usia, baik laki-laki maupun wanita, sampai saat ini tetap setia menjaga memelihara dan melestarikan pencak silat sebagai bela diri warisan leluhur.

Salah seorang  pelestari seni pencak Sumping, Rahayis,  mengungkapkan, nama pencak Sumping  diambil dari suguhan yang disajikan pada masa itu saat mengiringi para pendekar saat berlatih. 

"Sumping merupakan makanan tradisional yang terbuat dari pisang berbalut adonan tepung yang dikukus. Di daerah lain dikenal dengan nama kue Nagasari," kata Rahayis.

Sumping menjadi suguhan kepada para tamu undangan yang datang saat acara. Bahkan saat atraksi tanding dua pendekar silat, sumping juga digunakan untuk alat atau sarana pengakuan kemenangan lawan. "Biasanya pendekar yang menang akan menyumpal mulut lawan yang kalah dengan kue sumping," imbuh Rahayis.

Dusun Mondoluko tidak memiliki kesenian barong atau gandrung seperti di daerah lain. Akhirnya, pencak dilat yang diiringi dengan musik-musik tabuhan inilah sebagai hiburan warga pada rangkaian selamatan desa tersebut.

Baca Juga : Warga LDII Sembelih 350 Hewan Kurban Termasuk Kambing Bantuan Kapolresta Banyuwangi 

Tradisi tahunan pencak Sumping ini digelar beriringan dengan tradisi kenduri bersih desa (ider bumi) warga setempat. Selamatan ini berlangsung setiap Iduladha, ketika warga melakukan ritual ider bumi dan mengumandangkan azan serta membaca istighfar (permohonan ampun kepada Allah) sambil keliling desa.

Sementara itu, Plh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Choliqul Ridho mengatakan, atraksi bela diri pencak Sumping ini merupakan bagian dari kekayaan tradisi Banyuwangi yang perlu dilestarikan kepada anak cucu.

"Tradisi ini juga istimewa, karena merupakan seni bela diri yang dikemas dalam atraksi pertunjukan yang unik yang tentunya tidak ada di daerah lain. Dengan simbolis kue sumping sebagai kemenangan si pendekar tersebut, membuat tradisi seni pencak silat ini semakin menarik," ujar Ridho.

Tak hanya itu. Tradisi ini juga dihadiri Paguyuban Kampung Pencak Silat Glagah yang baru dibentuk. Mereka menghadiri tradisi pencak Sumping dari beberapa organisasi seperti Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), Ikatan Keluarga Silat Putra Indonesia (IKSPI) Kera Sakti, PS Pagar Nusa, dan PS Cempaka Putih.